Pemko Banda Aceh Bahas Proyek Jalan Lingkar dengan Kedubes Jepang
Banda Aceh – Pemerintah Kota Banda Aceh menyerahkan sejumlah usulan program pembangunan kepada pihak Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia yang berkedudukan di Jakarta. Usulan tersebut diserahkan dalam pertemuan antara jajaran pejabat Pemko Banda Aceh dengan Kijima Yoshiko selaku Minister Embassy of Japan in Indonesia.
Dalam pertemuan yang berlangsung Kamis (17/12/2015) di balai kota, Kijima Yoshiko turut didampingi oleh Atase Pertanian Takahiro Shimbo dan Sekretaris Masamu Yamamori. Sementara Wali Kota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal diwakili oleh Staf Ahli Bidang Hukum dan Politik T Iwan Kesuma bersama sejumlah Kepala SKPK.
Adapun usulan program tersebut antara lain pembangunan Jalan Lingkar Kota Banda Aceh (Banda Aceh Outer Ring Road), Pembangunan Pusat Pendidikan dan Studi Islam, Pengerukan Flood Way (Canal) Krueng Aceh, Pembangunan Underpass Simpang Beurawe, Pembangunan Madani Education Center, dan Penyediaan Sarana dan Prasaran Air Minum.
Iwan Kesuma menyebutkan, total anggaran yang dibutuhkan untuk proyek-proyek tersebut sekira Rp 1 triliun dan hal itu masih menjadi kendala utama bagi Pemko Banda Aceh. “Program ini juga telah kami ajukan ke provinsi hingga ke Kementerian PU dan Bappenas, namun masih terkendala soal anggaran,” ungkapnya.
Khusus soal Banda Aceh Outer Ring Road (BORR), Pemko Banda Aceh baru mampu membangun 2 KM dari total panjang lintasan 44, 8 KM. “BORR ini terdiri dari empat koridor, yakni koridor barat 8,3 KM, koridor utara 12,7 KM, koridor timur 12,2 KM dan koridor selatan 15,5 KM. Anggaran yang dibutuhkan sekira Rp 400 miliar,” kata Iwan.
“Sebenarnya hanya 8,8 KM lintasan BORR yang berada di dalam wilayah Kota Banda Aceh, selebihnya berada di kawasan Aceh Besar. BORR ini nantinya akan menghubungkan Pelabuhan Ulee Lheue, Pelabuhan Malahayati, Bandara SIM dan akses ke luar daerah. Nantinya, kenderaan-kenderaan berbadan besar akan menggunakan jalur ini dan tidak lagi masuk ke pusat kota,” katanya lagi.
Kepala Bappeda Iskandar menambahkan, konsep pengurangan risiko bencana menjadi prioritas dalam perencanaan tata ruang Banda Aceh. Untuk itu, selain untuk menunjang pemerataan pembangunan dan mengurai kemacetan di dalam kota, BORR juga berfungsi sebagai escape road pada saat bencana. “Fungsi lain sebagai seawall defend yang kita adopsi dari Jepang,” jelasnya.
Usulan program lain datang dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banda Aceh. Kepala DKP Mawardi Silvatara meyebutkan, soal perikanan, Banda Aceh tertinggal 50 tahun dari Jepang, dan pihaknya merasa perlu belajar banyak dari Jepang dan bertekad memangkasnya hanya dalam 10 tahun saja.
Usulan konkrit, Mawardi mengajukan bantuan pembangunan pemecah ombak di sepanjang pesisir pantai di Banda Aceh agar kapal-kapal nelayan dapat bersandar dengan aman di Tempat Pendaratan Ikan yang ada. “Sehingga TPI-TPI yang ada di Banda Aceh dapat berfungsi maksimal,” katanya.
Sementara Sekretaris Dinas Kebersihan dan Keindahan (DK3) Banda Aceh Mahdi yang ikut serta dalam pertemuan itu, menyinggung soal pembangunan sistem penyedotan secara terpusat di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Gampong Jawa.
“Seperti kami lihat di Jepang, tinja dari rumah warga tidak lagi disedot secara manual dengan mobil tangki, tapi disedot langsung melalui instalasi pipa dari septi tank rumah warga ke tempat pengolahan lumpur tinja. Kami berharap pemerintah Jepang dapat memberika dukungan, apalagi satu dari dua unit sistem IPLT di Gampong Jawa merupakan bantuan dari Jepang juga,” sebutnya.
Menanggapi usulan-usulan program tersebut, Kijima Yoshiko menyatakan ia sudah mencatat semuanya dan akan menyampaikan kepada pemerintah Jepang. Dirinya juga berjanji akan melobi kementerian-kementerian terkait di Jakarta.
Untuk merealisasikan bantuan dari pemerintah Jepang, sambungnya, tentu dibutuhkan persiapan yang matang. “Indonesia dan Jepang sama-sama daerah yang rawan bencana, dan pertemuan pembahasan kerja sama memang rutin diadakan antar jajaran pemerintahan kedua negara. Usulan-usulan ini akan kami kaji dan analisa terlebih dahulu.”
“Usulan-usulan yang telah disampaikan ini merupakan proyek berskala besar, dan tentu pula diperlukan diskusi lebih lanjut dengan pemerintah pusat dan Provinsi Aceh. Namun begitu, saya akan meminta JICA untuk mencoba menjalankan proyek ini. Tahun depan, JICA akan datang ke Aceh, nanti saya usulkan untuk bertemu dengan Pemko Banda Aceh.”
Kijima mengaku khusus datang ke Banda Aceh untuk mendengar dan menampung keinginan maupun kebutuhan Kota Banda Aceh ke depan. Beberapa waktu lalu, pihak parlemen Jepang juga sudah bertemu dengan Gubernur Aceh. “Artinya niat untuk membantu Aceh juga sudah menjadi keinginan rakyat Jepang,” katanya.
Ia juga mengungkapkan, saat Higashimatsushima porak-poranda dilanda gempa dan tsunami pada 2011 lalu, masyarakat dan Pemko Banda Aceh ikut mengirimkan bantuan, dan ia atas nama rakyat Jepang mengucapkan terima kasih untuk itu. “Saya berharap kerja sama sister city antara Banda Aceh dan Higashimatsushima yang telah terjalin selama tiga tahun terakhir dapat terus berlanjut,” pungkasnya. (Jun)